1. Trygve Lie
Trygve Lie
adalah seorang politikus berkebangsaan Norwegian. Lahir di kota Oslo, Norwegia
pada16 Juli 1896 dan meninggal 30 Desember 1968 di Geilo, Norwegia. Istrinya
bernama Hjordis Jorgensen. Trygve Lie merupakan orang pertama yang memegang
jabatan Sekretaris Jenderal PBB. Beliau memegang jabatan itu dari tanggal 2
Februari 1946 sampai 10 November 1952. Trygve Lie mengakiri jabatannya sebagai
Sekretaris Jenderal PBB karena mengundurkan diri dan digantikan oleh Dag
Hammarskjold. "Anda akan memasuki pekerjaan terpenting di dunia ini".
Dengan kata-kata inilah Trygve Halvdan Lie menyerahkan mandatnya sebagai
Sekretaris Jendral PBB kepada Dag Hammarskjold. Saat itu Perserikatan
Bangsa-Bangsa sedang menghadapi krisis paling serius, dan Lie memutuskan
melepaskan mandatnya.
2. Dag Hammarskjold
Dag Hammarskjold
memiliki nama lengkap Dag Hjalmar Agne Carl Hammarskjold adalah seorang
diplomat Swedia. Dag Hammarskjold dilahirkan di kota Jonkoping, Swedia pada 29
Juli 1905. Setelah dewasa pindah ke Uppsala, tempat ayahnya menjabat sebagai
Gubernur Kaunti. Banyak jabatan penting yang pernah dipegangnya, antara lain:
Menjadi Dosen Senior Ilmu Ekonomi pada 1933, Wakil Sekretaris dalam Kementerian
Keuangan selama 10 tahun, Ketua Delegasi Swedia ke perundingan OECD antara
1947-1948, Wakil Sekretaris Tetap di Kementerian Luar Negeri antara 1949-1951,
dan kemudian bergabung dengan pemerintahan sebagai menteri negara non-politik
dengan kisaran isu internasional yang luas. Pada 10 April 1953, Dag
Hammarskjold diangkat menjadi Sekretaris Jendral PBB yang kedua menggantikan
Trygve Lie.
Dag Hammarskjold
terkenal sebagai pemimpin terdedikasi dengan visi luas untuk jabatannya.
Digerakkan dengan kebulatan tekad pribadinya untuk efektif dengan bereaksi
cepat terhadap krisis-krisis yang dihadapi, ia mencoba memecahkan masalah di
tahap pertama, masalah yang ia percaya hanya akan menjadi rumit bila ditunda.
Selama masa jabatannya, ia juga memperkenalkan diplomasi diam untuk membuka
debat yang bisa menimbulkan konflik lebih dalam. Dag Hammarskjold membawa
otoritas baru untuk mandatnya sebagai Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia
memelihara pendirian netral dalam cara kerjanya dan menekankan tanggung jawab
PBB untuk menjamin kepentingan dan hak yang berkaitan dengan. Hammarskjold juga
menggagas penggunaan angkatan perdamaian PBB dan kebijakan ini menjadi ciri
tetap dalam usaha penjagaan perdamaian PBB.
Dag Hammarskjold
juga memiliki kepribadian budaya yang kuat. Ia diakui sebagai penulis,
penerjemah, dan salah satu dari 18 anggota Akademi Swedia.Selama masa
jabatannya, Hammarskjold berhasil memperbaiki konsekuensi 3 krisis dunia:
krisis Suez pada 1956, dan dalam konflik di Libanon dan Laos. Saat perang
saudara pecah di Kongo, Hammarskjold membantu meminta pasukan PBB dikirim ke
daerah itu dan secara pribadi ia mencoba menengahi mereka yang bertengkar.
Selama salah satu misi ini, pada 17 September 1961, Hammarskjold terbunuh dalam
kecelakaan pesawat di daerah yang kini bernama Zambia. Secara anumerta Dag
Hammarskjold dianugerahi Penghargaan Perdamaian Nobel pada 1961.
3. U Thant
Maha Thray Sithu
U Thant atau biasa dipanggil U Thant adalah seorang diplomat dari Myanmar.
Lahir di Pantanaw, Myanmar pada 22 Januari 1909 dan meninggal di New York,
Amerika Serikat pada 25 November 1974. Istrinya bernama Daw Thein Tin. U Thant
menduduki jabatan Sekretaris Jenderal PBB sejak 30 November 1961, menggantikan
Dag Hammarskjold yang tewas karena kecelakaan pesawat pada bulan September
1961. U Thant merupakan Sekretaris Jenderal PBB pertama dari Asia. U Thant
mengakhir jabatannya sebagai Sekjen PBB pada 1 Januari 1972 dan digantikan oleh
Kurt Josef Waldheim.
4. Kurt Waldheim
Kurt
Josef Waldheim adalah seorang diplomat Austria dan politikus konservatif. Lahir
21 Desember 1918 di Sankt Andra-Wordern near Vienna, Austria Jerman dan
meninggal 14 Juni 2007 di Vienna, Austria dalam usia 88 tahun. Istrinya bernama
Elisabeth Waldheim. Kurt Josef Waldheim menjabat Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-bangsa sejak 1 Januari 1972 sampai 1 Januari 1982. Sebelum
menjabat Sekretaris Jenderal PBB, Kurt Josef Waldheim pernah menjadi Presiden
Federal Austria pada periode 1986-1992 dan merupakan mantan presiden Austria
tertua. Dalam jabatan sebagai Sekretaris Jenderal PBB, Kurt Josef Waldheim juga
termasuk yangtertua.
5. Javier Perez de Cuellar
Javier Perez de
Cuellar de la Guerra atau Javier Perez de Cuellar adalah seorang diplomat Peru
yang lahir di Lima, Peru pada 19 Januari 1920. Istrinya bernama Marcela Temple.
Javier Perez de Cuellar menjabat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
sejak 1 Januari 1982 sampai 31 Desember 1991. Sebelum menjadi Sekjen PBB,
Javier Perez de Cuellar perbah kalah berpacu dengan Alberto Fujimori untuk
jabatan Presiden Peru. Ia adalah Presiden Dewan Menteri, sebagaimana MenLu dari
November 2000 sampai Juli 2001, selama periode turbulensi menyusul pengunduran
Fujimori karena dugaan korupsi. Pada September 2004, ia berhenti dari
jabatannya sebagai Duta Besar Peru untuk Perancis.
Perez de Cuellar
bergabung dengan Kementerian Luar Negeri pada 1940 dan dinas diplomatik pada
1944, kemudian menjabat sebagai Sekretaris di KeduBes Peru di Prancis, Britania
Raya, Bolivia, dan Brazil. Lalu ia menjabat sebagai Duta Besar Swiss, Uni
Soviet, Polandia, dan Venezuela.Ia adalah anggota delegasi Peru kepada MU pada
sesi pertamanya pada 1946 dan anggota delegasi sesi ke-25 melalui ke-30 di
sana. Pada 1971, ia diangkat sebagai perwakilan tetap Peru kepada PBB, dan ia
memimpin delegasi negaranya ke semua sesi di MU dari saat itu hingga 1975. Pada
1973 dan 1974, ia mewakili negaranya dalam DK PBB, menjabat sebagai Presiden
Dewan di waktu peristiwa di Siprus pada Juli 1974. Pada 18 September 1975, ia
diangkat sebagai Perwakilan SekJen di Siprus – kedudukan yang dipegangnya
hingga Desember 1977, saat ia bergabung kembali dengan Agen Rahasia Peru. Pada
27 Februari 1979, ia diangkat sebagai Sekretaris Muda PBB untuk Urusan Politik
Khusus. Dari April 1981, saat masih tetap memegang jabatan itu, ia bertindak
sebagai Perwakilan Pribadi SekJen pada situasi di Afganistan. Dalam kapasitas
ini, ia mengunjungi Pakistan dan Afganistan pada bulan April dan Agustus di
tahun itu untuk melanjutkan perundingan yang digagas SekJen beberapa bulan
sebelumnya.
Pada 31 Desember 1981, Perez de Cuellar menggantikan Kurt Waldheim menjadi Sekretaris
Jenderal PBB untuk masa kedua pada Oktober 1986. Selama 2 masa jabatannya, ia
memimpin mediasi antara Britania Raya dan Argentina setelah Perang Malvinas dan
memperkembangkan usaha Grup Contadora untuk membawa perdamaian dan stabilitas
di Amerika Tengah. Ia juga menengahi perundingan buat kemerdekaan Namibia,
konflik di Sahara Barat antara Maroko dan Front Polisario, serta isu Siprus.
Masa jabatan keduanya sebagai SekJen berakhir pada Januari 1992.
6. Boutros Boutros Ghali
Boutros Boutros
Ghali adalah seorang kebangsaan Mesir yang lahir pada 14 November 1922 di
Kairo, Mesir. Istrinya bernama Leia Maria Boutros Ghali. Boutros Boutros Ghali
menjabat sebagai Sekjen PBB dari 1 Januari 1992 hingga Desember 1996. Boutros
Boutros Ghali berasal dari keluarga Kristen Koptik (Boutros adalah bentuk
Arabik dari Petros, bentuk Koptik dari nama Peter) yang telah memberikan Mesir
seorang Perdana Menteri (Boutros Ghali, 1846 – 1910). Dia lulus dari
Universitas Kairo pada tahun 1946 dan mendapat Ph.D. dalam hukum internasional
dari Universitas Paris dan juga diploma dalam hubungan internasional dari
Institut Ilmu Politik Paris (lebih dikenal dengan sebutan sederhana Sciences
Po) pada tahun 1949. Tahun yang sama, dia ditunjuk menjadi Profesor Hukum
Internasional dan Hubungan Internasional di Universitas Kairo, posisi yang ia
pegang sampai 1977. Dia menjadi Presiden Pusat Studi Politik dan Strategis pada
1975 dan Presiden Perkumpulan Studi Politik Afrika pada 1980. Dia menjadi
Pelajar Riset Fulbright di Universitas Columbia dari 1954 sampai 1955, Direktur
Pusat Riset di Akademi Hukum Internasional Den Haag dari 1963 sampai 1964, dan
Visiting Professor di Fakultas Hukum Universitas dari 1967 sampai 1968.
Boutros Boutros
Ghali telah lama dikaitkan dengan pihak yang berkuasa di Mesir. Karier
politiknya menanjak pada zaman mantan presiden Anwar El-Sadat. Dia adalah
anggota Komite Pusat Persatuan Sosialis Arab (1974-1977). Dia telah menjabat di
Kementrian Negara Urusan Luar Negeri Mesir semenjak 1977 sampai awal 1991. Dia lalu
menjadi Wakil Menteri Luar Negeri untuk beberapa bulan sebelum pindah ke PBB.
Sebagai Menteri Negara Urusan Luar Negeri, dia memainkan peranan dalam
persetujuan perdamaian antara Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri
Israel Menachem Begin.
7. Kofi Annan
Kofi Atta Annan
atau Kofi Annan adalah seorang diplomat asal Ghana yang lahir pada 8 April 1938
di Kumasi, Ghana. Istrinya bernama Titi Alakija Nane Maria Annan dan sudah
cerai.Ia menjabat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa pada periode 1
Januari 1997 hingga 31 Desember 2006 untuk dua kali masa jabatan lima tahunan.
Pada 1 Januari 2007, ia digantikan Ban Ki-moon. Ia pernah meraih Penghargaan
Nobel Perdamaian pada 2001. Sejak Juni 2007, ia memimpin Aliansi untuk Revolusi
Hijau di Afrika, sebuah organisasi yang bertujuan meningkatkan hasil produksi
pertanian dan perkebunan di Afrika sekaligus melawan kelaparan, kekurangan
persediaan air bersih, dan erosi tanah. Organisasi itu dibentuk tahun 2006 oleh
Yayasan Bill dan Melinda Gates serta Yayasan Rockefeller dengan dana bantuan
150 juta USD.
Kofi Annan anak
dari Victoria dan Henry Reginald Annan yang lahir di wilayah Kofandros Kumasi,
Ghana. Nama "Kofi" berarti "terlahir pada hari Jumat".
Annan yang lahir sebagai anak kembar dianggap sebuah peristiwa spesial oleh
tradisi Ghana. Saudara kembarnya (Efua) meninggal pada tahun 1991. Keluarga
Annan merupakan bagian kelompok elit Ghana. Kedua kakeknya serta pamannya
adalah kepala suku. Ayahnya berdarah setengah Asante dan setengah Fante, sedang
ibunya seorang suku Fante. Ayah Annan bekerja cukup lama sebagai manajer ekspor
perusahaan cokelat Lever Brothers. Dari tahun 1954-1957, Annan bersekolah di
sekolah elit Mfantsipim, sebuah sekolah berasrama Methodis di Cape Coast yang
didirikan pada tahun 1870-an. Annan pernah mengatakan bahwa sekolahnya
mengajarkan bahwa "penderitaan di mana-mana memprihatinkan orang-orang di
mana-mana." Pada 1957, ketika ia lulus dari Mfantsipim, Ghana menjadi
koloni Britania pertama di daerah Sub-Sahara yang merdeka.
Pada 1958, Annan mulai belajar untuk mencapai gelar dalam ilmu ekonomi Sekolah
Tinggi Sains dan Teknologi Kumasi, yang kini berubah namanya menjadi
Universitas Sains dan Teknologi Kwame Nkrumah. Ia memperoleh bea siswa Ford
Foundation yang menolongnya menyelesaikan studinya di Macalester College di St.
Paul Minnesota, Amerika Serikat pada tahun 1961. Ia kemudian melanjutkan studi
di Institut universitaire des ahutes etudes internationales di Jenewa (Swiss)
pada periode 1961-1962, dan kemudian mengikuti program Sloan Fellows di MIT
Sloan School of Management (1971-1972) dan menerima gelar Master of Sciende.
Annan fasih berbahasa Inggris, Perancis, Kru, dialek-dialek lain dari
bahasa-bahasa Akan, dan bahasa-bahasa Afrika lainnya. Ia menikah dengan Nane Maria
(Lagergren) Annan dari Swedia, seorang pengacara dan artis yang merupakan
kemenakan tiri Raoul Wallenberg. Annan mempunyai dua orang anak, Kojo Annan dan
Ama, dari pernikahannya sebelumnya dengan Titi Alakija, seorang perempuan
Nigeria. Ia bercerai dengan Alakija pada akhir tahun 1970-an. Nane Annan juga
mempunyai seorang anak, Nina Cronstedt de Groot, dari pernikahannya sebelumnya.
Pada 1962, Annan
bekerja sebagai pegawai anggaran untuk Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO),
sebuah badan PBB. Dari 1974-1976, ia bekerja sebagai Direktur Pariwisata di
Ghana. Sesudah itu, ia bekerja kembali di PBB sebagai Asisten Sekretaris
Jenderal di tiga posisi berurutan: Manajemen Sumber Daya Manusia dan
Koordinator Keamanan (1987-1990), Perencanaan Program, Anggaran dan Keuangan,
dan Pengawas (1990-1992), serta Operasi Penjaga Perdamaian (Maret 1993-Februari
1994). Dalam bukunya Shake Hands with the Devil: The Failure of Humanity in
Rwanda (Berjabat Tangan dengan Iblis: Kegagalan Umat Manusia di Rwanda), bekas
Jenderal Roméo Dallaire yang menjabat sebagai komandan pasukan UNAMIR mengklaim
bahwa Annan terlalu pasif dalam menanggapi genosida suku Tutsi pada 1994 di
Rwanda. Jen. Dallaire dengan terang-terangan mengatakan bahwa Wakil Sekretaris
Jenderal untuk Operasi Penjaga Perdamaian mencegah pasukan-pasukan PBB ikut
campur dalam memecahkan konflik dan dalam memberikan lebih banyak dukungan
logistik dan materi. Misalnya, ia mengklaim bahwa Annan gagal memberikan
tanggapan terhadap faks Dallaire yang dikirim berulang-ulang memintanya agar
diberikan akses ke gudang senjata, yang mestinya dapat menolong membela suku
Tutsi. Namun Dallaire mengakui bahwa Annan adalah orang yang dirasakannya
sangat "tinggi komitmennya" terhadap prinsip-prinsip pembentukan PBB.
Annan saat itu menjabat Wakil Sekretaris Jenderal sampai Oktober 1995 ketika ia
diangkat sebagai Utusan Khusus Sekretaris Jendearl PBB ke bekas Yugoslavia. Ia
bertugas selama lima bulan dalam kapasitas ini dan kembali ke tugas-tugasnya
sebagai Wakil Sekretaris Jenderal pada April 1996.
Pada 13 Desember
1996, Annan terpilih oleh Dewan Keamanan PBB sebagai Sekretaris Jenderal, dan
dikukuhkan empat hari kemudian lewat pemungutan suara di Majelis Umum. Annan
segera mengambil sumpah jabatan, dan memulai masa jabatannya yang pertama
sebagai Sekretaris Jenderal pada 1 Januari 1997. Annan menggantikan Sekretaris
Jenderal Boutros Boutros-Ghali dari Mesir, yang berakhir masa jabatannya. Ia
menjadi orang pertama dari sebuah negara Afrika Hitam yang menjabat sebagai
Sekretaris Jenderal. Masa jabatan Annan sebagai Sekjen diperbarui pada 1
Januari 2002, dalam sebuah penyimpangan yang tidak lazim dari kebijakan yang
tak resmi. Jabatan ini biasanya berotasi di antara benua, masing-masing dengan
dua masa jabatan. Karena pendahulu Annan adalah Boutros-Ghali yang juga berasal
dari Afrika, Annan biasanya hanya akan menjabat satu masa jabatan. Perpanjangan
masa jabatannya menunjukkan popularitas Annan. Mark Malloch Brown menggantikan
Louise Frechette sebagai Wakil Sekretaris Jendearl Annan pada April 2006.
8. Ban Ki-moon
Ban Ki-moon
adalah seorang diplomat Korea Selatan dan kini menjabat Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa menggantikan Kofi Annan yang telah menyelesaikan
masa jabatannya pada 1 Januari 2007. Ban Ki-moon pernah menjabat sebagai
menteri luar negeri Republik Korea pada periode Januari 2004 hingga 1 November
2006. Pada 13 Oktober 2006, ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kedelapan pada Sidang Umum PBB dan dilantik
pada 14 Desember 2006. Pada 21 Juni 2011 terpilih untuk menjalankan periode
keduanya sebagai Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat hasil
Sidang Umum untuk masa jabatan 2012 hingga 2016.
Ban Ki-moon
lahir di Eumseong di sebuah desa kecil di Chungcheong Utara pada tanggal 13
Juni 1944. Waktu itu akhir masa Penjajahan Jepang di Korea. Ia dan keluarganya
pindah ke kota kecil dekat Chungju dimana ia dibesarkan disana. Selama masa
kecilnya, ayah Ban memiliki bisnis pergudangan, namun gudang tersebut bangkrut
dan keluarganya mengalami kesulitan ekonomi. Ketika Ban berumur 6 tahun,
keluarganya pindah ke daerah pegunungan selama Perang Korea. Setelah perang
usai, keluarganya kembali lagi ke Chungju. Di sekolah menengah atas (SMA
Chungju), Ban menjadi bintang kelas, terutama dalam pelajaran Bahasa Inggris.
Pada tahun 1952, ia terpilih mewakili kelasnya untuk mengirimkan sebuah pesan
kepada Sekretaris Jenderal PBB Dag Hammarskjold, tetapi tidak pernah diketahui
apakah pesan tersebut terkirim atau tidak. Pada tahun 1962, Ban memenangkan
sebuah lomba menulis esai yang disponsori oleh Palang Merah dengan hadiah
perjalanan ke Amerika Serikat. Disana ia tinggal di San Fransisco bersama
dengan keluarga tamu selama beberapa bulan. Sebagai bagian dari hadiah
perjalanan tersebut, Ban bertemu dengan Presiden AS John F. Kennedy. Ketika
seorang jurnalis yang berada di lokasi pertemuan tersebut mewawancarai Ban
tentang apa yang ia ingin lakukan ketika menjadi dewasa, ia menjawab:
"Saya ingin menjadi seorang diplomat."
Ban Ki-moon
memperoleh gelar sarjananya dalam Hubungan Internasional dari Universitas
Nasional Seoul pada tahun 1970 dan memperoleh gelar Master dalam bidang
Administrasi Publik dari Sekolah Pemerintahan John F. Kennedy di Universitas
Harvard pada 1985. Di Harvard, ia belajar dibawah didikan Joseph Nye yang
mengenal Ban karena memiliki "sebuah kombinasi yang langka antara analisis
yang jelas, kerendahan hati dan sikap protektif." Ban dianugerahi gelar
Doktor Honoris Causa dibidang hukum oleh Universitas Malta pada 22 April 2009.
Ia kemudian juga menerima penghargaan Doktor Hukum oleh Universitas Washington
pada Oktober 2009. Selain berbahasa Korea sebagai bahasa asalnya, ia juga mampu
berbahasa Inggris, Perancis, Jepang, dan Jerman. Akan tetapi, kemampuannya
berbahasa Perancis, bahasa yang diisyaratkan sebagai bahasa yang wajib dikuasai
oleh Sekretaris Jenderal PBB, masih diragukan.
Ban Ki-moon
bertemu dengan Yoo Soon-taek pada tahun 1962 ketika mereka menjadi siswa
sekolah menengah atas. Ban berumur 18 tahun, dan Yoo Soon-taek adalah wakil
ketua organisasi kesiswaan sekolah menengah. Ban Ki- moon menikah dengan Yoo
Soon-taek pada tahun 1971. Mereka memiliki tiga anak: dua perempuan dan satu
laki-laki. Anak perempuan tertuanya, Seon-yong (lahir 1972) bekerja untuk
Yayasan Korea di Seoul. Anak laki-lakinya, Woo-hyun (lahir 1974) meraih gelar
MBA dari Sekolah Manajemen Anderson UCLA di Universitas California, Los Angeles
dan bekerja untuk sebuah firma investasi di New York. Anak perempuan yang
paling kecil, Hyun-hee (lahir 1976), adalah pengawas lapangan untuk UNICEF di
Nairobi, Kenya. Setelah pemilihannya sebagai Sekretaris Jenderal, Ban menjadi
ikon di kota tempat ia tinggal dimana keluarga besarnya tinggal. Sekitar 50.000
orang berkumpul di sebuah lapangan bola di Chungju untuk merayakan hasil
pemilihan tersebut. Beberapa bulan setelah pemilihannya, ribuan praktisi feng
shui mengunjungi desanya untuk mencari tahu bagaimana desa tersebut dapat
menghasilkan orang penting semacam Ban. Ban sendiri bukanlah anggota dari
gereja manapun atau kelompok religi dan ia menolak untuk menjelaskan secara
rinci tentang kepercayaannya: "Sekarang, sebagai Sekretaris Jenderal,
bukanlah waktu yang tepat untuk membahas tentang kepercayaan saya berkaitan
dengan agama atau Allah apapun. Jadi mungkin kita akan membahas hal mengenai
masalah pribadi di lain kesempatan." Ibu Ban sendiri dikabarkan beragama
Buddha
Dalam
Kementerian Luar Negeri Korea Selatan, Ban dipanggil dengan sebutan Ban-jusa,
yang artinya "Sang Birokrat" atau "pegawai administratif".
Nama tersebut digunakan untuk tujuan positif maupun negatif: pujian atas
perhatian Ban terhadap hal yang detail dan kemampuan administratif sementara
ejekan untuk menunjukkan kurangnya karisma dan sikap patuh yang berlebihan
kepada atasannya. Korps media Korea menyebutnya dengan "belut yang
licik" atas kemampuannya untuk menghindari pertanyaan. Pembawaan dirinya
sering dideskripsikan menggunakan "pendekatan Konfusius". Setelah
lulus dari universitas, Ban meraih angka tertinggi dalam tes pelayanan luar
negeri Korea. Ia bergabung dengan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Korea
Selatan pada Mei 1970 dan karirnya terus menanjak selama masa Konstitusi Yusin.
Penempatannya yang pertama di luar negeri adalah di New Delhi, India dimana Ban
bekerja sebagai wakil konsul dan menarik perhatian banyak atasannya di
kementerian luar negeri dengan kompetensinya, Ban dikabarkan lebih memilih
untuk menerima sebuah penempatan di India dibandingkan dengan Amerika Serikat,
karena di India ia dapat berhemat dan mengirimkan lebih banyak uang untuk
keluarganya. kemudian menempati pos di Divisi Perserikatan Bangsa-bangsa di
markas besar Kementrian Luar Negeri. Pada tahun 1974, Ban menerima
pengirimannya pertamanya ke PBB, sebagai Sekretaris Pertama pada Misi Pengamat
Tetap Republik Korea (Korea Selatan menjadi anggota penuh PBB pada 17 September
1991). Setelah pembunuhan Park Chung-hee pada tahun 1979, Ban mengambil alih
pos Direktur pada Divisi PBB.
Pada tahun 1980,
Ban menjadi direktur untuk Biro Traktat dan Organisasi Internasional PBB yang
bermarkas di Seoul. Ia pernah ditempatkan dua kali di Kedutaan Besar Korea di
Washington DC. Di antara kedua penempatannya ini, ia menjabat sebagai Direktur
Jenderal untuk Urusan Amerika pada 1990-1992. Ia kemudian dipromosikan menjadi
Wakil Menteri untuk Perencanaan Kebijakan dan Organisasi Internasional pada
1995. Kemudian ia diangkat menjadi Penasihat Keamanan Nasional untuk Presiden
pada 1996, dan menjabat sebagai Wakil Menteri pada 2000. Penempatannya yang
paling terakhir adalah sebagai Penasihat Kebijakan Luar Negeri untuk Presiden
Roh Moo-hyun. Ketika menjadi Duta Besar untuk Austria, ia terpilih sebagai
Ketua Komisi Persiapan bagi Organisasi Perjanjian Pelarangan Uji-coba Nuklir
yang Menyeluruh (CTBTO PrepCom) pada 1999. Ketika tiba giliran Korea menjabat
sebagai ketua Sesi ke-56 dari Sidang Umum PBB pada 2001, ia bertugas sebagai
Chef de Cabinet dari Ketua Sidang Umum.
Pada tahun 2004, Ban menggantikan Yoon Young-kwan sebagai Menteri Luar Negeri
Korea Selatan dibawah kepemimpinan Presiden Roh Moo-hyun. Pada awal masa
jabatannya, Ban menghadapi dua krisis utama: Di bulan Juni 2004, Kim Sun-il,
seorang penerjemah Korea diculik dan dibunuh di Irak oleh kelompok ekstrem; dan
pada bulan Desember 2004, banyak warga Korea Selatan yang meninggal akibat
tsunami di Samudra Hindia. Popularitasnya naik setelah pembicaraan dengan Korea
Utara mengalami kemajuan. Ban aktif terlibat dalam isu yang berkaitan dengan
relasi antar Korea. Pada September 2005, sebagai menteri luar negeri, Ban
memegang peranan penting dalam usaha-usaha diplomatik untuk mengadopsi
Pernyataan Bersama dalam memecahkan masalah nuklir Korea Utara pada Putaran
Keempat dari Perundingan enam negara yang diselenggarakan di Beijing, Republik
Rakyat Cina.
Pada Februari
2006, Ban menyatakan pencalonannya untuk menggantikan Kofi Annan sebagai
Sekretaris Jenderal PBB pada akhir 2006. Ini adalah kali pertama seorang Korea
Selatan mencalonkan diri dalam pemilihan jabatan tersebut. Dalam masa kampanye
sebagai calon Sekretaris-Jenderal, Ban melakukan sejumlah orasi di Asia Society
dan Dewan Hubungan Internasional di New York. Selain harus mendapatkan dukungan
dari komunitas diplomat, Ban juga harus melewati hak veto yang mungkin dapat
diberikan kepadanya oleh 5 anggota tetap Dewan Keamanan: RRC, Perancis, Rusia,
Britania Raya dan Amerika Serikat. Ban populer di Washington dengan kebijakan
mengirimkan pasukan Korea Selatan ke Irak. Tetapi Ban juga melawan beberapa
kebijakan AS: ia memberikan dukungannya kepada Mahkamah Pidana Internasional dan
meminta agar tidak terjadi pendekatan secara konfrontasi dengan Korea Utara.
Ban mengatakan bahwa selama masa kampanyenya ia akan melakukan kunjungan ke
Korea Utara untuk bertemu secara pribadi dengan Kim Jong-il. Ban dipandang
sebagai seseorang yang dingin, berbeda dengan Kofi Annan yang dinilai memiliki
kharisma namun lemah dalam mengatur masalah yang sedang berkembang misalnya
dalam program pengadaan minyak sayur untuk Irak.
Ban juga
berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari Perancis. Biografi resmi yang
dimilikinya mencatat bahwa ia mampu berbahasa Inggris dan Perancis, dua bahasa
utama yang digunakan di sekretariat PBB. Ia berulang kali kesulitan menjawab
pertanyaan yang diberikan oleh para wartawan dalam bahasa Perancis. Dalam
sebuah konferensi pers pada 11 Januari 2007, ia menyatakan bahwa "Bahasa
Perancis saya mungkin bisa lebih diperbaiki, dan saya akan terus berusaha
memperbaikinya. Saya telah mengambil kursus bahasa Perancis dalam beberapa
bulan ini. Saya pikir, walaupun bahasa Perancis saya tidak bagus, saya akan
tetap beruaha mempelajarinya." Dengan semakin dekatnya pemilihan
Sekretaris-Jenderal, kritikan terhadap Ban sebagai wakil Korea Selatan semakin
meningkat. Beberapa artikel menuliskan bahwa Ban telah menemui semua anggota
Dewan Keamanan dalam perannya sebagai Menteri Luar Negeri dan Perdagangan untuk
mendapatkan dukungan lewat perjanjian kerjasama dalam bidang perdagangan dengan
negara - negara Eropa serta janji untuk memberikan bantuan kepada negara-negara
berkembang. Menurut The Washington Post,"calon lain telah mengungkapkan
kekesalannya kepada Korea Selatan, yang merupakan negara dengan ekonomi
terbesar kesebelas di dunia karena telah menggunakan pengaruh ekonominya untuk
memperkuat pencalonan Ban." Atas pernyataan ini, Ban membalasnya dengan
mengatakan bahwa “Sebagai seorang calon pemimpin, saya tahu bahwa saya akan
menjadi target atas proses yang sedang diamati oleh banyak kepentingan ini dan
saya adalah orang yang memegang integritas."
Ban menduduki
tempat teratas pada setiap kali pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh Dewan
Keamanan PBB pada 24 Juli,14 September, dan 28 September. Dalam pengumpulan
pendapat kedua, ia memperoleh 14 suara "yang menggembirakan" dan 1
suara "yang mengecewakan". The Australian melaporkan bahwa satu suara
yang mengecewakan itu berasal dari Qatar, yang menyiratkan bahwa Ban
mendapatkan dukungan dari kelima anggota tetap Dewan Keamanan yang mempunyai
hak untuk memveto kandidat. Pada pengumpulan pendapat ketiga, Ban memperoleh 13
suara yang menggembirakan, satu suara yeng mengecewakan, dan satu suara “tidak
ada pendapat”. Tidak jelas apakah ke-13 pendukungnya kali ini mencakup kelima
anggota tetap Dewan Keamanan. Pengumpulan pendapat keempat dilangsungkan pada 2
Oktober. Pengumpulan suara kali ini diberi kode warna untuk membedakan antara
suara anggota tetap dan yang tidak tetap. Pada pemungutan suara final secara
informal yang diadakan pada 2 Oktober dalam Dewan Keamanan, Ban menerima empat
belas suara yang menyatakan setuju serta satu suara abstain dari anggota Dewan
Keamanan PBB. Satu suara abstain diberikan oleh delegasi Jepang yang menentang
ide seorang berkebangsaan Korea menduduki peran sebagai Sekretaris-Jenderal.
Dukungan yang sangat besar kepada Ban oleh seluruh anggota Dewan Keamanan PBB,
Jepang akhirnya mendukung Ban untuk mengurangi kontroversi. Hal lain yang lebih
penting, Ban adalah satu-satunya calon yang terhindar dari hak veto, kandidat
lainnya minimal menerima satu suara "tidak" oleh anggota tetap Dewan
Keamanan. Setelah pemilihan, Shashi Tharoor, yang menduduki tempat kedua
kemudian mundur dari pencalonan dirinya. dan Wakil Tetap RRC untuk PBB
mengatakan kepada media bahwa "semuanya telah jelas berdasarkan hasil
pemungutan suara hari ini bahwa Ban Ki-Moon adalah kandidat yang akan direkomendasikan
oleh Dewan Keamanan kepada Majelis Umum."
Pada 9 Oktober,
Dewan Keamanan PBB resmi mencalonkan Ban sebagai Sekretaris Jenderal PBB yang
baru. Keputusan ini masih harus dikukuhkan oleh Sidang Umum PBB yang akan
bertemu pada akhir tahun 2006. Pada 13 Oktober, 192 anggota Majelis Umum
mengesahkan Ban sebagai Sekretaris-Jenderal. Saat Ban menjadi
Sekretaris-Jenderal, di tahun 2007, The Economist membuat daftar tantangan yang
harus ia hadapi:"meningkatnya ancaman nuklir di Iran dan Korea Utara, konflik
di Darfur, kekerasan yang tidak pernah selesai di Timur Tengah, ancaman bencana
alam, meningkatnya ancaman terorisme internasional, berkembangnya senjata
pemusnah massal, penyebaran HIV/AIDS dan beberapa hal lain seperti bisnis
raksasa yang tidak pernah habis mengenai usaha untuk mereformasi dalam sejarah
PBB." Sebelumnya, Kofi Annan bercerita mengenai Trygve Lie,
Sekretaris-Jenderal yang pertama, ia meninggalkan pesan kepada penerusnya, Dag
Hammarskjöld, "Kamu akan mengambil alih pekerjaan paling penting di
dunia." Pada 23 Januari 2007 Ban mulai bekerja sebagai Sekretaris-Jenderal
PBB kedelapan. Masa jabatan Ban sebagai Sekretaris-Jenderal dimulai dengan
kejutan. Pada 2 Januari 2007, awal pertemuannya dengan pers sebagai
Sekretaris-Jenderal, ia menolak menjatuhkan hukuman mati kepada Saddam Hussein
yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Irak. Pernyataan Ban bertolak belakang
dengan kesepakatan jangka panjang dari PBB mengenai penolakan pinalti hukuman
mati sebagai sebuah kepentingan hak asasi manusia. Ia segera mengklarifikasi
pernyataannya dalam kasus Barzan al-Tikriti dan Awad al-Bandar, dua petinggi
utama yang dinyatakan bersalah atas meninggalnya 148 kaum Muslim Syiah di desa
Dujail, Irak pada dekade 1980an. Dalam sebuah pernyataan lewat juru bicaranya
pada 6 Januari, ia "dengan keras mendesak pemerintah Irak untuk memberikan
penundaan eksekusi kepada mereka yang akan dihukum mati dalam waktu
dekat." Dalam isu yang lebih luas, ia mengatakan kepada seorang audiensi
di Washington, D.C. bahwa ia mendorong "tren global yang sedang berkembang
dalam himpunan masyarakat internasional, hukum internasional dan kebijakan
domestik serta kebiasaan untuk menarik secara bertahap kebijakan pinalti
hukuman mati" Kabinet
Ban Ki-moon
bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Pada awal Januari, Ban menunjuk
beberapa anggota penting dalam kabinetnya. Asha-Rose Migiro, professor dan
menteri luar negeri asal Tanzania dipilih untuk menjabat sebagai Deputi
Sekretaris Jenderal - sebuah regenerasi yang menggembirakan bagi para diplomat
Afrika karena mereka tidak kehilangan wakilnya setelah Annan tidak lagi
menjabat. Jabatan Wakil Sekretaris-Jenderal Manajemen diisi oleh Alicia Bárcena
Ibarra dari Meksiko. Sebelumnya Bárcena bekerja sebagai kepala staf dibawah
pimpinan Annan. Penunjukkannya oleh Ban dipandang sebagian orang sebagai kritik
dan indikasi yang diperkirakan tidak akan membuat perubahan besar dalam
birokrasi PBB. Ban menunjuk Sir John Holmes, Duta Besar Britania Raya untuk
Perancis, sebagai Wakil Sekretaris Jenderal untuk Urusan Kemanusiaan dan
Koordinator Bantuan Darurat. Pada awalnya, Ban menyatakan bahwa ia akan menunda
membuat janji lain hingga putaran pertama program reformasi PBB terlaksana,
tetapi kemudian ia mengabaikan ide ini setelah menerima kritik. Pada bulan
Februari, ia melanjutkan janjinya, memilih B. Lynn Pascoe, Duta Besar AS untuk
Indonesia, menjadi Wakil Sekretaris-Jenderal untuk urusan politik. Jean-Marie
Guéhenno, diplomat asal Perancis yang telah bekerja pada periode Annan sebagai
Wakil Sekretaris-Jenderal untuk operasi perdamaian dipertahankan posisinya. Ban
memilih Vijay K. Nambiar sebagai Kepala Staf. Janji untuk menempatkan banyak
wanita di bagian jabatan yang penting dilihat sebagai janji kampanye yang
direalisasikan oleh Ban. Selama satu tahun sebagai Sekretaris Jenderal, jabatan
utama dan penting dipegang oleh wanita lebih banyak daripada masa - masa
sebelumnya. Walaupun tidak ditunjuk langsung oleh Ban, Presiden Sidang Umum,
Haya Rashed Al-Khalifa, menjadi wanita ketiga yang memegang posisi tersebut
dalam sejarah PBB.
Ban mengajukan
dua restrukturisasi besar selama bulan-bulan awal jabatannya; memisahkan
operasi perdamaian PBB menjadi dua departemen dan menggabungkan bagian urusan
politik dengan departemen perlucutan senjata. Rencana ini mendapat perlawanan
dari anggota Sidang Umum PBB yang menolak agar rencana Ban dapat segera
diterima. Rencana penggabungan ini juga dikritisasi oleh banyak negara
berkembang. Rumor yang beredar bahwa Ban mengharapkan menempatkan seorang
Amerika, B. Lynn Pascoe di kantor baru. Alejandro D. Wolff, kemudian bertindak
sebagai Duta Besar Amerika Serikat, kata Amerika Serikat membalas rencana
tersebut. Sekretaris-Jenderal PBB memilik peran untuk terlibat aktif dalam
debat mengenai hampir seluruh isu - isu global. Walaupun tidak berhasil dalam
beberapa bidang, Annan sebagai pendahulu Ban berhasil meningkatkan peran PBB
dalam bidang perdamaian dan memopulerkan Sasaran Pembangunan Milenium. Para
pengamat PBB menunggu isu-isu yang akan diangkat dan difokuskan oleh Ban, sebagai
bagian dari janjinya untuk mereformasi birokrasi PBB. Pemanasan global
Mantan Presiden
AS George W. Bush berbincang dengan Sekretaris-Jenderal PBB Ban Ki-moon. Dalam
pertemuan mereka, Ban menekankan masalah kurangnya kepedulian Amerika Serikat
terhadap masalah pemanasan global. Ban mengungkapkan bahwa pemanasan global
adalah salah satu isu penting dalam kebijakannya. Dalam pertemuan dengan
presiden Amerika Serikat George W. Bush di Gedung Putih, Ban mendesak Bush
untuk mengambil langkah membatasi emisi gas rumah kaca. Pada 1 Maret 2007,
dalam pidatonya sebelum sidang Majelis Umum PBB, Ban lebih lanjut menekankan
kepeduliannya terhadap pemanasan global. Ia menyatakan “Bagi generasi saya,
lahir pada masa sulitnya Perang Dingin, ketakutan terhadap nuklir musim dingin
sepertinya menjadi masalah yang amat penting. Namun dampak yang ditimbulkan
atas perang dan dampaknya bagi planet kita sangat berhubungan erat dengan
masalah perubahan iklim."
Pada Kamis, 22
Maret 2007, ketika Ban melakukan kunjungan di Timur Tengah, sebuah bom mortar
meledak sekitar 80 meter dari tempat dimana Sekretaris-Jenderal berdiri,
mengganggu kegiatan jumpa pers yang diadakan di zona hijau Baghdad. Kejadian
ini mengejutkan Ban dan yang lainnya. Tidak ada yang terluka dalam insiden tersebut.
PBB telah membatasi aktivitasnya di Irak setelah perwakilannya di Baghdad
diledakkan pada Agustus 2003, mengakibatkan 22 orang meninggal dunia. Namun,
Ban tetap mengharapkan agar dapat menemukan solusi terbaik untuk PBB untuk
"berbuat lebih bagi perkembangan kehidupan politik dan sosial di
Irak." Dalam kunjungannya di Timur Tengah, Ban mengunjungi Mesir, Israel,
Tepi barat, Yordania, Lebanon dan Arab Saudi. Ban juga menghadiri konferensi
dengan para pemimpin Liga Arab dan bertemu dengan Omar Hassan al-Bashir,
presiden Sudan yang menolak pasukan keamanan PBB di Darfur. Saat Ban bertemu
dengan Mahmoud Abbas, presiden Palestina, ia menolak untuk bertemu dengan
Ismail Haniya yang berasal dari Hamas. Pada 10 Maret 2008, Ban mengeluarkan
kritikan terhadap Israel yang membangun permukiman di Tepi barat dan keputusan
Israel tersebut bertentangan dengan "kewajiban Israel dibawah peta
jalan" untuk perdamaian di Timur Tengah.
Ban dua kali
memperoleh penghargaan Bintang Jasa pada tahun 1975, 1986, dan 2006 dari
Pemerintah Republik Korea. Atas keberhasilannya sebagai duta besar, ia
memperoleh Bintang Kehormatan Besar dari Republik Austria pada 2001. Setahun
kemudian, pemerintah Brasil menganugerahi Salib Agung Rio Branco kepadanya.
Pada September 2005, Masyarakat Korea di New York menganugerahkan kepadanya
penghargaaan Van Fleet atas sumbangannya untuk persahabatan AS-Republik Korea.